Pengertian Matematika
Matematika (dari bahasa Yunani: μαθηματικά - mathēmatiká) adalah studi besaran, struktur, ruang, dan perubahan. Para matematikawan mencari berbagai pola, merumuskan konjektur baru, dan membangun kebenaran melalui metode deduksi yang ketat diturunkan dari aksioma-aksioma dan definisi-definisi yang bersesuaian.
Pengertian Pembelajaran Matematika Menurut Para Ahli
Menurut Nana Surjana, ( 1987 : 28 ) “Proses belajar berlangsung dalam waktu tertentu dan merupakan proses yang panjang dari satu fase ke fase berikutnya. Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang, bukan menghafal atau mengingat”.
Herman Hudoyo, ( 1979 : 89 ). Begitu juga dengan belajar matematika karena melibatkan suatu struktur hirarki dari konsep-konsep tingkat tertinggi yang dibentuk atas dasar apa yang telah terbentuk sebelumnya. Ros Effendi, ( 1980 : 148 ). Belajar matematika berarti mempelajari fikiran-fikiran manusia, yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran. Mohammad Soleh, ( 1998 : 3 ). Belajar matematika adalah belajar tentang bilangan, belajar menjumlah, mengurangi dan membagi yang terdapat dalam aljabar, aritmatika, dan geometri.
Jadi belajar matematika adalah melibatkan diri yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran yang semuanya telah tersusun secara hirarki dari konsep-konsep yang rendah sampai konsep-konsep yang lebih tinggi.
Teori Pembelajaran
Perjalanan pembelajaran matematika Indonesia tidak terlepas dari teori-teori belajar yang telah bervariasi di buat oleh ahli-ahli belajar. Bell (1978:97) mengemukakan bahwa tiap teori dapat dipandang sebagai suatu metoda untuk mengorganisasi serta mempelajari berbagai variabel yang berkaitan dengan belajar dan perkembangan intelektual, dan dengan demikian gur dapat memilih serta menerapkan elemen-elemen teori tertentu dalam pelaksanaan pengajaran di kelas.
Gagasan tentang belajar bermakna yang dikemukakan oleh William Brownell pada awal pertengahan abad 20 merupakan ide dasar teori konstruktivisme. Menurut Brownell, matematika dapat dipandang suatu sistem yang terdiri atas ide, prinsip dan proses sehingga keterkaitan antar aspek-aspek tersebut harus dibangun dengan penekanan bukan pada memori atau hapalan melainkan pada aspek penalaran atau intelegensi anak.
Reys mengemukakan bahwa matematika haruslah make sense. Jika matematika disajikan kepada anak dengan cara yang demikian, maka konsep yang dipelajari menjadi punya arti, dipahami sebagi suatu disiplin, terstruktur dan memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya.
Dalam NCTM Standar (1989) belajar bermakna merupakan landasan utama untuk terbentuknya matematika connection. Pembelajaran matematika haruslah di arahkan 1. menggunakan koneksi matematika antar ide matematik 2. memahami keterkaitan materi yang satu dengan yang lain sehingga terbangun pemahaman yang menyeluruh dan 3. memperhatikan serta menggunakan matematika dalam konteks di luar matematika.
Piaget berpendapat bahwa matematika tidak diterima secara pasif matematika dibentuk dan ditemukan oleh anak secara aktif. Sebaiknya matematika dikonstruksi oleh anak bukan diterima dalam bentuk jadi.
Dienes mempunyai pendapat anak mengkontruksi pengetahuan baru matematika melalui refleksi terhadap aksi-aksi baik yang dilakukan bersifat fisik maupun mental. Mereka melakukan observasi untuk menemukan keterkaitan dan pola serta membentuk generalisasi dan abstraksi.
Brunner berpandangan bahwa belajar merefleksikan sesuatu proses sosial yang didalamnya anak terlibat dalam dialog dan diskusi baik dengan diri mereka sendiri maupun orang lain termasuk guru sehingga mereka berkembang secara intelektual.
Pendapat dari ketiga ahli tersebut memberi indikasi bahwa konstruksivisme merupakan suatu proses yang memerlukan waktu serta merefleksikan sejumlah tahapan perkembangan dalam memahami konsep-konsep matematika.
Vygotsky (1978), proses peningkatan pemahaman pada diri siswa terjadi sebagai akibat adanya pembelajaran. Diskusi yang dilakukan antara guru dan siswa dalam pembelajaran, mengilustrasikan bahwa interaksi sosial yang berupa diskusi ternyata mampu memberikan kesempatan pada siswa untuk mengoptimalkan proses belajarnya. Interkasi seperti itu memungkinkan guru dan siswa untuk berbagi dan memodifikasi cara berfikir masing-masing. Selain itu terdapat juga kemungkinan bagi sebagian siswa untuk menampilkan argumentasi mereka sendiri serta bagi siswa lainnya memperoleh kesempatan untuk mencoba menangkap pola fikir siswa lainnya. Rangkaian di atas diyakini akan membimbing siswa untuk berpikir menuju ke tahapan yang lebih tinggi. Proses ini menurut Vygotsky disebut zone of proximal development (ZPD).
Menurut Vygotsky belajar dapat membangkitkan berbagai proses mental tersimpan yang hanya bisa dioperasikan manakala orang berinteraksi dengan orang dewasa atau berkolaboras sesama teman. Pengembangan kemampuan yang diperoleh melalui proses belajar sendiri pada saat melakukan pemecahan disebut actual development, sedangkan perkembangan yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi dengan guru atau siswa lain yang mempunyai kesempatan lebih tinggi disebut potential development.
Selanjutnya dalam matematika kita kenal adanya perkembangan intelektual atau kognitif yang diprakarsai oleh Piaget, Brunner dan Dienes. Menurut Piaget perkembangan kognitif mencakup sensori motor, preoperasi, operasi konkrit, dan operasi formal. Piaget ( dalam Bell, 1978) juga menyatakan bahwa perkembangan intelektual anak merupakan suatu proses asimilasi dan akomodasi informasi ke dalam struktur mental.
Asimilasi adalah suatu proses dimana informasi atau pengalaman yang diperoleh seseorang ke dalam struktur mentalnya. Sedangkan akomodasi adalah terjadinya restrukturisasi dalam otak sebagi akibat adanya informasi atau pengalaman baru. Piaget selanjutnya menjelaskan bahwa perkembangan mental seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni kematangan, pengalaman fisik, pengalaman matematis-logis, transmisi sosial (interaksi sosial) dan keseimbangan.
Brunner mengemukakan bahwa perkembangan intelektual anak itu mencakup tahapan enaktif, ikonik dan simbolik. Pada tahapan enaktif, anak biasanya sudah bisa melakukan manipulasi, konstruksi, serta penyusunan dengan memanfaatkan benda-benda konkrit. Pada tahap ikonik anak sudah mampu berfikir representatif yakni dengan menggunakan gambar atau turus. Pada tahap simbolik anak sudah mampu memiliki kemampuan untuk berfikir atau melakukan dengan simbol-simbol.
Dienes berpendapat bahwa belajar matematika mencakup bermain bebas, generalisasi, representasi, simbolisasi, dan formalisasi. Pada tahap bermain bebas anak biasanya berinteraksi langsung dengan benda-benda konkrit sebagai bagian aktivitas belajarnya. Pada generalisasi anak sudah mampu mengobservasi pola, sifat dan keteraturan yang dimiliki bersama. Pada tahap representsi anak sudah memiliki kemampuan pola berpikir untuk merepresentasikan obyek-obyek tertentu dalam bentuk gambar atau turus. Tahap simbolisasi anak sudah mampu menggunakan simbol-simbol matematika dalam proses matematikanya. Sedangkan tahap formalisasi anak sudah mampu memandang bahwa matematika sebagai suatu sistem yang terstruktur.
Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Matematika
http://pengertian-pengertian-info.blogspot.co.id/2015/09/pengertian-belajar-matematika-menurut.html
https://yuriniky.wordpress.com/2016/03/21/hakikat-matematika-pembelajaran-matematika-dan-teori-belajar/
0 komentar:
Posting Komentar